Suatu ketika, Rasulullah Saw., seperti yang kerap beliau lakukan, berbincang-bincang dengan para sahabat di serambi Masjid Nabawi, Madinah. Selepas berbagi sapa dengan mereka, beliau berkata kepada mereka, “Suatu saat ada seorang pria berkata kepada dirinya sendiri, ‘Malam ini aku akan bersedekah!’ Dan, benar, malam itu juga dia memberikan sedekah kepada seorang perempuan yang tak dikenalnya. Ternyata, perempuan itu seorang pezina. Sehingga, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai.
“Akhirnya, kabar tersebut sampai juga kepada pria itu. Mendengar kabar yang demikian, pria itu bergumam, ‘Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu.Ternyata, sedekahku jatuh ke tangan seorang pezina. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!’
“Maka, pria itu kemudian mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah itu, tanpa diketahuinya, adalah orang kaya. Sehingga, kejadian itu lagi-lagi menjadi perbincangan khalayak ramai, lalu sampai juga kepada pria yang bersedekah itu.
“Mendengar kabar yang demikian, pria itu pun bergumam,’Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu. Ternyata, sedekahku itu jatuh ke tangan orang kaya. Karena itu, aku akan bersedekah lagi!’
Maka, dia kemudian, dengan cermat, mencari seseorang yang menurutnya layak menerima sedekah. Ternyata, penerima sedekah yang ketiga, tanpa diketahuinya, adalah seorang pencuri. Tak lama berselang, kejadian itu menjadi perbincangan khalayak ramai, dan kabar itu sampai kepada pria yang bersedekah itu.
Mendengar kabar demikian, pria itu pun mengeluh, ‘Ya Allah! Segala puji hanya bagi-Mu! Ya Allah, sedekahku ternyata jatuh ke tangan orang-orang yang tak kuduga: pezina, orang kaya, dan pencuri!’
“Pria itu kemudian didatangi (malaikat utusan Allah) yang berkata, “Sedekahmu telah diterima Allah. Bisa jadi pezina itu akan berhenti berzina karena menerima sedekah itu. Bisa jadi pula orang kaya itu mendapat pelajaran karena sedekah itu, lalu dia menyedekahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan, bisa jadi pencuri itu berhenti mencuri selepas menerima sedekah itu.”
Sumber
Senin, 19 September 2011
Sedekah Yang Salah Alamat
Menghargai Pemulung
Siapa yang mau menjadi pemulung? Tak banyak yang mengidamkan cita-cita itu. Sebab, sebagian besar beranggapan bekerja sebagai pemulung barang bekas dan sampah bukanlah pilihan, melainkan suatu 'keterpaksaan' hidup. Nasib kurang beruntunglah yang mengantarkan seseorang menjadi pemulung. Bagaimanapun, memulung adalah suatu pekerjaan, dan bekerja adalah ibadah.
Dengan bekerja, seseorang bisa melangsungkan eksistensi kehidupannya dan mencukupi keperluannya. Lebih dari itu, seseorang bisa tenang beribadah kepada Tuhannya manakala kebutuhannya terpenuhi. Suatu hari, saat Rasulullah SAW sedang duduk-duduk bersama para sahabat, lewat seorang lelaki pemulung berpakaian kumal. Mereka bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah yang semacam ini juga termasuk fi sabilillah (di jalan Allah)?''
Nabi pun bersabda, ''Sekiranya dia melakukan hal ini demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka dia di jalan Allah. Kalaupun dia melakukan hal ini demi menghidupi kedua orang tuanya yang sudah renta, maka dia pun di jalan Allah. Dan, jika dia melakukannya untuk dirinya sendiri demi menjaga kehormatannya agar tidak meminta-minta, maka dia juga di jalan Allah.'' (HR Ath-Thabarani).
Subhanallah! Begitu mengenanya sabda Nabi ini. Betapa banyak di antara kita yang sinis terhadap pemulung. Sampai-sampai di sejumlah kompleks perumahan elite tertulis papan pengumuman gagah: ''Pemulung Dilarang Masuk!'' Padahal, seperti sabda Rasulullah SAW, yang dilakukan pemulung adalah fi sabilillah, baik itu demi menghidupi anak-anaknya, orang tuanya, ataupun untuk dirinya sendiri agar tidak meminta-minta kepada orang lain.
Di sisi lain, sampah bukanlah harta yang bisa dibanggakan. Sampah adalah barang buangan. Bagi tuannya, sampah adalah barang tak berguna. Tiada yang mau menimbun sampah di dalam rumah kecuali orang malas lagi bodoh. Tidakkah kita berterima kasih, jika ada orang yang mau 'menelateni' sampah yang kita buang daripada membusuk di bak sampah? Pemulung sama sekali tidak merugikan masyarakat, bahkan ia justru membantu. Memulung adalah pekerjaan halal. Islam sangat memuliakan orang yang makan dari hasil keringatnya sendiri.
Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang didapat dari hasil kerjanya sendiri.'' (HR Al-Bukhari). Para pemulung, sejatinya, mengajak kita untuk merenung. Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber
Kesombongan
Sombong adalah penyakit hati yang sering menghinggapi kita semua. Benih kesombongan terlalu kerap muncul tanpa kita sadari. Di tingkat pertama, sombong disebabkan oleh faktor materi. Kita merasa lebih kaya, lebih rupawan, dan lebih terhormat daripada orang lain. Di tingkat kedua, sombong disebabkan oleh faktor kecerdasan. Kita merasa lebih pintar, lebih kompeten, dan lebih berwawasan dibanding orang lain. Dan di tingkat ketiga, sombong disebabkan faktor kebaikan. Kita sering menganggap diri kita lebih bermoral, lebih pemurah, dan lebih tulus dibandingkan dengan orang lain.
Yang menarik, semakin tinggi tingkat kesombongan, semakin sulit pula kita mendeteksinya. Sombong karena materi sangat mudah terlihat, namun sombong karena pengetahuan, apalagi sombong karena kebaikan, sulit terdeteksi karena seringkali hanya berbentuk benih-benih halus di dalam batin kita.
Kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu kutub dan kesadaran sejati di lain kutub. Pada saat terlahir ke dunia, kita dalam keadaan telanjang dan tak punya apa-apa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, kita mulai memupuk berbagai keinginan, nafsu lebih dari sekadar yang kita butuhkan dalam hidup. Keenam indra kita selalu mengatakan bahwa kita memerlukan lebih banyak lagi.
Untuk bisa melawan kesombongan dengan segala bentuknya, ada dua perubahan paradigma yang perlu kita lakukan. Pertama, kita perlu menyadari bahwa pada hakikatnya kita bukanlah makhluk fisik semata, tetapi makhluk spiritual. Kita lahir dengan tangan kosong, dan kita pun akan meninggal dengan tangan kosong. ''Sesungguhnya kami adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kami kembali.'' (QS Al-Baqarah [2]: 156)
Sumber
Kematian
Ibnu Umar RA berkata, ''Aku datang menemui Nabi Muhammad SAW bersama 10 orang, lalu salah seorang Anshar bertanya, siapakah orang yang paling cerdas dan paling mulia wahai Rasulullah? Nabi menjawab, orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling siap menghadapinya, mereka itulah orang-orang yang cerdas, mereka pergi dengan membawa kemuliaan dunia dan kehormatan.'' (HR Ibnu Majah)
Manusia yang senantiasa mengingat kematian akan memendekkan angan-angannya, lebih menyegerakan berkarya, dan gemar berbuat kebajikan. Dia menginsyafi diri bahwa setiap manusia, baik kaya atau miskin, memiliki jabatan tinggi atau rendah, pintar atau bodoh, dan fisik sempurna atau cacat, semuanya akan kembali menyatu dengan tanah. Sendiri dalam kegelapan menghadapi malaikat maut.
Allah berfirman dalam surat Al Jumu'ah (62) ayat 8, ''Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.'' Perbedaan terbesar orang yang mengingat kematian dengan tidak ialah terletak pada kehati-hatian bersikap, kerendahan hati, keikhlasan, amal kebaikan, dan kezuhudannya.
Harta, tahta, kata, dan cinta dunia yang ia miliki tak memengaruhi pandangannya terhadap semua manusia. Ia memahami manusia sama-sama sebagai makhluk ciptaan Allah yang akan kembali pada-Nya dan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya. Hanya tingkatan takwa yang membedakan kedudukan masing-masing manusia.
Sumber
Mahabbah
Mahabbah berarti cinta, yaitu perasaan rindu dan senang yang istimewa terhadap sesuatu. Perasaan demikian menyebabkan perhatian seseorang terpusat kepadanya bahkan mendorong orang itu untuk memberikan yang terbaik. Perasaan cinta itu diikuti dengan ketulusan untuk mengorbankan apa saja termasuk nyawa sekalipun kepada yang dicintai. Dalam agama Islam, cinta tertinggi haruslah ditujukan semata-mata hanya kepada Allah. Prestasi tertinggi seorang mukmin adalah meraih kecintaan Allah. Tentu untuk meraihnya bukan hal yang mudah karena harus menjaga komitmen dan selalu konsisten dengan aturan Allah.
Allah mengingatkan dalam firman-Nya. ''Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan untung ruginya dan rumah-rumah yang kamu senangi, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan putusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.'' (SQ At Taubah [9]: 24).
Allah adalah tujuan tertinggi dan paling hakiki dalam kehidupan setiap mukmin. Apa pun yang dilakukan haruslah berujung kepada tujuan tersebut, yaitu mahabbah kepada Allah. Di samping itu, manifestasi mencintai Allah dan Rasul-Nya, antara lain, adalah menaati ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan lewat Rasul-Nya. Cinta yang menampakkan diri dalam ketaatan itu niscaya dibalas pula dengan cinta oleh Allah, sebagaimana difirmankan-Nya. ''Katakanlah jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, Rasul-Nya, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS Ali Imran [3]: 31).
Sumber