Kenapa iblis tidak mau bersujud kepada Nabi Adam as? Sebab, iblis sangat dengki terhadapnya. Karena itu, barang siapa di antara kita memiliki sifat dengki, maka sungguh kita telah memiliki salah satu sifat iblis. Rasulullah SAW bersabda, "Melepaskan dua ekor srigala lapar di kandang kambing tidak lebih besar bahayanya di bandingkan dengan seorang muslim yang rakus terhadap harta dan dengki terhadap agama. Sesungguhnya dengki itu memakan habis kebaikan, seperti api melalap habis kayu". (HR. At-Tirmidzi)
Seorang pendengki hidupnya tidak akan mulia di dunia. Malaikat pun akan muak kepadanya. Jika kelak mati, ia akan mendapatkan kedudukan yang teramat hina di hadapan Allah. Demikian pula di Yaumul Hisab timbangannya akan terbalik, sehingga neraka Jahanam pun siap menerkamnya. Itulah nasib malang yang akan Allah timpakan kepada seorang pendengki.
Apakah dengki itu? Secara garis besar sifat ini terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, dengki yang diharamkan. Seseorang merasa tidak senang atas kenikmatan yang diperoleh orang lain dan merasa bahagia kalau orang lain mendapat musibah. Atau setidaknya, ia menginginkan nikmat yang ada pada orang lain tersebut hilang. Ini dengki yang diharamkan, karena sifat seperti ini termasuk ke dalam tingkatan ketiga dari penyakit hati.
Kedua, dengki yang diperbolehkan berupa rasa iri kepada kenikmatan orang lain, tapi tidak ingin menghilangkan kenikmatan tersebut darinya. Melihat orang lain memiliki rumah bagus, kita merasa iri ingin pula memiliki hal yang sama dan tidak dengan cara menjadikan orang tersebut jatuh miskin. Keinginan seperti ini wajar-wajar saja selama tidak bergeser menjadi perasaan tidak enak, yang berlanjut pada hasrat ingin melenyapkan kenikmatan orang tersebut.
Bahkan, "kebolehan" merasa dengki seperti ini insya Allah akan berpahala bila kita berbuat. Pertama, ketika melihat orang berilmu dan gemar mengamalkan ilmunya, giat berdakwah dengan penuh keikhlasan, dan kita pun menginginkan untuk berbuat seperti itu. Kedua, ketika melihat orang kaya yang gemar membelanjakan hartanya di jalan Allah, lantas kita menginginkan berbuat hal serupa.
Dengki biasanya akan berpasangan dengan keadaan yang dihadapi pemiliknya. Mahasiswa akan dengki kepada sesama mahasiswa. Orang pintar akan dengki kepada orang yang pintar lagi, demikian seterusnya. Pendek kata, akan sulit terjadi seseorang merasa dengki terhadap orang lain yang memiliki kapasitas berbeda.
Secara umum ada empat hal yang bisa menyebabkan munculnya sifat dengki, yaitu: pertama, kebencian dan permusuhan. Sifat ini bisa muncul karena pernah disakiti, difitnah, salah satu haknya dilanggar, atau sebab-sebab lain yang merugikan diri sendiri. Kedua, hadirnya naluri untuk selalu lebih dari orang lain. Naluri ini merupakan jalan tol menuju penyakit dengki. Seseorang yang merasa pakaiannya paling bagus misalnya, akan mudah dihinggapi rasa dengki ketika melihat ada orang yang pakaiannya lebih bagus dan lebih mahal daripada yang dipakai dirinya.
Kita hidup seharusnya seperti orang memandikan mayat. Ia akan senang bila ada yang membantu. Ketika berkiprah dalam dakwah, hendaknya kita bersyukur tatkala ada saudara seiman yang memiliki misi yang sama, dan ditakdirkan ilmu dan jamaahnya lebih banyak dari kita. Allah SWT berfirman dalam QS An-Nisaa: 32, ''Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.''
Penyebab dengki yang ketiga adalah ambisi kepemimpinan. Obsesi ingin selalu memimpin yang disertai ambisi untuk merebut pucuk pimpinan adalah sarana yang paling rawan munculnya kedengkian. Bahkan bisa menjadi awal hancurnya sebuah negara dan umat. Karena itu, dalam konteks kepemimpinan umat, orang yang pertama kali terbenam ke dalam neraka adalah ulama-ulama pendengki yang selalu berambisi menjadi pemimpin dan mengejar popularitas. Munculnya kedengkian dalam hati para ulama dan pemimpin umat sedikit demi sedikit akan menghapuskan cita-cita luhur untuk mewujudkan ittihadul ummah; persatuan umat dalam cahaya Islam.
Dalam QS Al-Hujurat ayat 12 disebutkan: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah pula sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.
Penyebab keempat adalah akhlak yang buruk. Orang yang buruk akhlaknya akan kikir berbuat kebaikan dan tidak suka melihat orang lain mendapatkan kebaikan. Jika melihat sesuatu yang tidak disukainya, ia pasti akan menggerutu dan sibuk menyalahkan. Orang seperti ini hidupnya akan selalu sengsara, dan di akhirat nanti akan mendapatkan transfer pahala yang ia miliki kepada orang yang didengkinya. Rasulullah menyebutnya sebagai orang bangkrut, mufhlis. Ia membawa pahala kebaikan, tapi pahala itu habis untuk menggantikan dosa yang diperbuatnya pada orang lain.
Oleh karena itu, Ibnu Sirrin pernah berucap, "Saya tidak sempat dengki di dunia ini. Kenapa saya harus dengki, apalagi perkara di dunia dan terlebih lagi dengki kepada orang saleh? Bukankah dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan akhirat nanti. Apa perlu kita dengki? Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber
Minggu, 18 September 2011
Hati - Hati Dengan Dengki
Agama dan Problematika Remaja
Masa-masa remaja adalah masa yang paling indah, namun penuh dengan pergolakan dan problematika hidup. Remaja juga dipandang sebagai salah satu masa proses pencarian identitas diri. Remaja merupakan suatu fase pertumbuhan dan perkembangan yang akan dihadapi oleh setiap manusia, sebagai ciptaan Allah. Dikatakan remaja, karena ia telah melewati usia anak-anak dan akan memasuki usia dewasa.
Untuk itu, usia remaja kadang disebut banyak orang sebagai masa-masa transisi yang penuh dengan ketidaktentuan dan ketidakpastian. Pada masa-masa ini, seorang remaja dihadapkan kepada godaan atau tarikan-tarikan perbuatan yang serba tidak menentu dan tidak jelas. Apakah ia akan melakukan pekerjaan yang mengarah kepada kebaikan, atau ia akan mengerjakan perbuatan yang menjerumuskan dirinya kepada keburukan.
Sejak dulu kala, para remaja atau kaum pemuda menjadi harapan masa depan bangsa. Di atas pundaknyalah, masa depan bangsa ini dipikulkan. Mereka dapat dipastikan akan menjadi pengendali, penentu, dan pemimpin masa depan. Karena, merekalah yang akan menggantikan generasi-generasi pendahulu mereka. Dengan demikian, tugas dan tanggung jawab mereka sangat berat. Bagaimana Islam memandang problematika dan masa depan remaja?
Remaja di jalan Allah
Pertumbuhan dan perkembangan seseorang dapat dilihat dari segi pembatasan usia, yang bisa dibagi dua fase: sebelum dan setelah akil balig. Bagi seorang wanita, akil balig ditandai dengan keluarnya darah haid, sedangkan bagi laki-laki ditandai dengan keluar sesuatu dari alat kelaminnya saat mimpi basah. Atau, kalau misalnya tidak mengalami haid dan mimpi basah, maka fase akil balig ditandai oleh usia tertentu yaitu maksimal lima belas tahun. Pandangan batas usia akil balig yang akan dialami oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, ini dikemukakan oleh banyak ulama.
Namun, batas usia bagi akil balig seperti disebutkan di atas akan membawa konsekuensi, bahwa seseorang seusia tersebut-yang biasa juga disebut remaja, akan dianggap sebagai mukallaf yang terkena beban taklif: kewajiban dan larangan. Maka, bila ia melakukan kebaikan-sekalipun ia masih remaja, seperti dilakukan orang dewasa, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana dijanjikan Allah. Begitu juga sebaliknya. Bila ia melanggar perintah-perintah Allah, maka ganjaran yang akan ia peroleh adalah dosa, yang sebenarnya berasal dari dirinya sendiri.
Islam menempatkan kalangan remaja kepada kedudukan yang istimewa dan sangat khas. Banyak hadis Nabi Muhammad dan pernyataan para hukama yang memperlakukan remaja sebagai masa-masa yang istimewa dan khusus. Dalam sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, misalnya, disebutkan, bahwa ada tujuh kelompok orang yang akan diberikan perlindungan Allah pada hari akhir nanti, dan tiga dari tujuh kelompok tersebut adalah golongan remaja-meskipun yang bukan remaja juga bisa termasuk di dalamnya.
Di dalam ketujuh kelompok itu ada seorang pemuda yang tumbuh dan berkembang di jalan ibadah kepada Tuhan. Seorang pemuda ini dapat dikatakan istimewa, karena dalam usianya yang penuh gejolak yang biasanya menjauh dari jalan Tuhan, ia malah memilih untuk hidup di jalan ibadah kepada Allah. Sangat jarang memang ditemukan seorang pemuda menentukan pilihan hidupnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di dalam ketujuh kelompok itu juga ada dua orang remaja yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah karena Allah. Ketiga tipologi pemuda atau remaja yang digambarkan hadis Rasulullah ini seharusnya menjadi rujukan baik bagi remaja masa kini. Ada lagi profil remaja yang sebaiknya dijadikan referensi bagi remaja. Yaitu, seorang remaja laki-laki menolak undangan atau ajakan seorang gadis atau remaja perempuan yang mempunyai kedudukan dan kecantikan, karena ia belum menjalin ikatan pernikahan, dan dengan alasan "Aku takut kepada Allah" (inni akhafullah). Juga sebaliknya. Seorang gadis atau remaja perempuan menolak rayuan remaja laki-laki, karena alasan yang sama, yaitu takut kepada Allah. Penolakan semacam itu bukan karena jual mahal atau sebagainya. Remaja dengan tipologi seperti itu, baik laki-laki maupun perempuan, akan mendapat jaminan perlindungan dari Allah. Inilah contoh yang digambarkan Rasulullah buat para remaja, yang menjadi rujukan hasanah bagi remaja masa kini. Seorang remaja masih tetap berada dalam jalur-jalur kebenaran dari Allah, meskipun ia sering mengalami gejolak diri yang kadang menjurus kepada keburukan.
Sebuah rambu buat remaja
Keluarga sebetulnya mempunyai peran besar untuk membentuk karakter dan profil remaja ideal dambaan umat, seperti digambarkan hadis Nabi Muhammad. Di dalam keluargalah, seorang remaja tumbuh, berkembang, berkreativitas, berinovasi, dan menanam pahala-pahala yang dapat dinikmati di kemudian hari. Tanpa perhatian dan bimbingan keluarga, bisa jadi perjalanan hidup seorang remaja tidak terarah dan tanpa tujuan yang jelas.
Dalam dunia pendidikan, proses mendidik seseorang, termasuk juga para remaja untuk bertanggung jawab bukanlah pekerjaan yang instan, seperti membalik telapak tangan. Proses pendidikan sangat membutuhkan waktu yang cukup lama, yang bisa berlangsung sejak seorang manusia berada di dalam kandungan hingga masa kematian menjemputnya. Proses pendidikan seseorang berlangsung terus-menerus tanpa henti-hentinya, kecuali ia mencapai waktu ajalnya.
Islam, misalnya, memerintahkan setiap orang untuk mendidik anak-anaknya yang berusia dini untuk mendirikan shalat. Pendidikan semacam ini merupakan bagian dari latihan tanggung jawab kepada Allah, dan sebagai latihan disiplin bagi anak-anak. Proses latihan tanggung jawab dan disiplin ini sangat penting bagi seorang anak untuk menanamkan pendidikan pada masa-masa remaja di kemudian hari.
Selain itu, keluarga juga bertanggung jawab untuk mengarahkan para remajanya yang sedang berada di tengah-tengah pergaulan sesama mereka. Selama ini, banyak pergaulan remaja, khususnya di kota-kota besar, tidak berlandaskan rambu-rambu agama. Kita misalnya sering melihat seorang remaja laki-laki dan perempuan berjalan berduaan, padahal mereka belum menikah. Tangan mereka bergandengan mesra, bahkan, berciuman-seperti sering terjadi ketika remaja-remaja kita merayakan valentine day setiap setahun sekali.
Sebenarnya, Islam tidak membenarkan mereka berduaan-sekalipun mereka tidak melakukan hal-hal yang 'tidak diinginkan'. Islam melarang seorang pemuda dan seorang gadis berduaan tanpa ikatan pernikahan. Islam juga tidak memperbolehkan dan memperkenankan mereka berduaan di dalam masjid, sekalipun mereka sama-sama melakukan iktikaf. Karena, perbuatan tersebut dikhawatirkan dapat mendatangkan bahaya, baik bagi dirinya maupun lingkungan keluarga mereka.
Alquran telah memberi rambu-rambu dan pedoman yang jelas bagi seorang laki-laki dan wanita yang bukan 'muhrim' dalam bergaul. Pergaulan antarremaja, khususnya bagi kalangan remaja laki-laki dan remaja perempuan, memiliki aturan yang jelas dan ketat. Allah berfirman, "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya'". (QS. Al-Nuur, 24: 30-31).
Demikian aturan pergaulan antara remaja laki-laki dan remaja perempuan. Peraturan tegas tersebut seharusnya dipatuhi oleh para remaja kita sekarang. Remaja ideal adalah remaja yang berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam. Remaja semacam ini menjadi harapan besar bagi kebangkitan Islam. Melanggar peraturan tersebut, berarti kita tidak mematuhi ajaran-ajaran yang digariskan Alquran. Wallahu a'lam.
Islam menempatkan kalangan remaja kepada kedudukan yang istimewa dan sangat khas. Banyak hadis Nabi Muhammad dan pernyataan para hukama yang memperlakukan remaja sebagai masa-masa yang istimewa dan khusus.
Sumber
Islam dan Budaya Demokrasi Dalam Keluarga
Demokrasi sering diidentikkan dengan Barat. Salah satu sistem politik ini awalnya tumbuh dan berkembang di dunia Barat. Dalam sejarah perkembangannya, demokrasi menembus masuk ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Termasuk pula di Indonesia. Kultur demokrasi, yang diuraikan dalam konsepsi "kerakyatan", "kekeluargaan", dan "gotong royong" sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat Indonesia, termasuk pula kaum muslimin. Unsur-unsur demokrasi itu bisa kita lihat di dalam sistem dan kehidupan masyarakat pedesaan di Jawa.
Kalau kita telusuri, di dalam demokrasi khas Indonesia itu terkandung makna sifat "gotong royong", cara-cara kekeluargaan dalam mengurus sesuatu, atau "musyawarah untuk mufakat". Unsur-unsur demokrasi Indonesia ini dirumuskan dalam salah satu sila Pancasila, yang telah disepakati oleh para pendiri negara kita ini, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan." Sila inilah yang tampaknya menjadi asas dasar demokrasi Indonesia. Di dalam sila keempat Pancasila itu terdapat kata "permusyawaratan", yang berasal dari kata bahasa Arab, yaitu syuuraa atau musyaawarah. Karena itu, tidak heran bila demokrasi sering diasumsikan dengan kata syuuraa atau musyaawarah, sekalipun ada beberapa perbedaan antara kedua konsep tersebut.
Musyawarah dalam Alquran
Syuuraa atau musyaawarah merupakan hal penting bagi kehidupan manusia, khususnya kaum muslimin. Bahkan, karena pentingnya, kata syuuraa menjadi salah satu nama surat Alquran, yaitu surat ke-42. Di dalam Alquran, masalah musyawarah disebut pada tiga ayat. Pertama, kita bisa lihat dan baca pada QS 'Ali 'Imraan [3]: 159. Dalam ayat Alquran ini, Allah berfirman, "..., maka maafkanlah mereka, mohonlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan (tertentu/yang penting), kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." Kedua, kita bisa simak pada QS Al-Syuuraa [42]: 38.
Dalam ayat ini, Allah berfirman, "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi, menyambut) seruan Tuhan mereka dan mendirikan shalat (dengan sempurna), sedangkan tentang urusan mereka, mereka memutuskannya dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka." Dan ketiga, kita bisa cermati pada QS Al-Baqarah [2]: 233. Di dalam ayat ini, Allah berfirman dengan tegas, bahwa " ...apabila kedua orangtua (suami dan istri) ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan permusyawaratan antarmereka, maka tidak ada atas mereka ...." Ketiga ayat di atas menegaskan, bahwa Islam memiliki cakupan konsep musyawarah. Islam memandang musyawarah sebagai unsur terpenting bagi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun para elite politik.
Khusus tentang ayat ketiga di atas, oleh masyarakat umum, masalah menyapih selalu dianggap sebagai urusan perempuan. Padahal, seperti ditegaskan ayat Alquran itu, persoalan menyapih seorang anak merupakan masalah keluarga yang perlu dimusyawarahkan antara suami dan istri. Menyapih berkaitan langsung dengan hak anak. Dalam masalah menyapih ini, baik anak, ibu, maupun ayah, tidak ada yang boleh menjadi korban. Dalam ayat sebelumnya disebutkan, sang ibu tidak boleh menderita karena anak, dan sang bapak juga tidak boleh menderita karena anak. Jadi, tujuan musyawarah dalam keluarga, seperti diisyaratkan dalam ayat Alquran tentang menyapih itu, adalah untuk menghindari jatuhnya korban di antara anggota keluarga.
Ayat Alquran itu memberi jalan keluar bagi orangtua, terutama suami dan istri, yang sedang menghadapi masalah, khususnya masalah menyapih anak, di dalam keluarga, yaitu dengan jalan musyawarah. Musyawarah ditujukan untuk mencari formulasi terbaik jangan sampai ada yang dirugikan. Intinya, semua persoalan yang dihadapi orangtua, terutama di dalam keluarga, harus dibicarakan dan dicarikan solusinya untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Musyawarah seharusnya menjadi landasan pokok dalam membina kehidupan berkeluarga. Musyawarah dan permufakatan ditujukan untuk menjalin kerjasama dalam kebaikan dengan semangat persaudaraan, bukan semangat kalah dan menang.
Unsur demokrasi
Hal-hal lain yang perlu ditekankan atau ditanamkan di dalam kehidupan keluarga-yang berkaitan dengan demokrasi atau musyawarah, adalah penegakan keadilan. Berbuat adil, yang sering diidentikkan dengan persamaan atau keseimbangan, merupakan salah satu unsur demokrasi. Di dalam masyarakat modern, terutama keluarga masa kini, persamaan atau berbuat adil tidak bisa diabaikan. Demokrasi mengajarkan kepada kita tentang persamaan pada seluruh anggota keluarga. Tidak ada yang memegang hak mutlak. Tidak ada yang otoriter. Tidak ada yang bersikap tiranik. Demokrasi itu dapat dipastikan menolak elitisme. Tidak ada yang boleh berkuasa terhadap pihak lain. Semuanya sama sebagai manusia. Bahkan, dalam soal pernikahan pun seorang gadis tidak bisa dipaksakan. Istilah wali mujbir juga tidak bisa digunakan sewenang-wenang.
Selama ini kita sering melihat adanya kesewenang-wenangan orangtua, khususnya sang bapak untuk memaksakan anak gadisnya menikah dengan orang yang tidak disukai anaknya. Istilah wali mujbir menjadi landasan pegangan untuk memaksa anak gadisnya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Pemaksaan pernikahan semacam ini tentu saja keluar dari koridor praktik demokrasi. Padahal, limabelas abad lalu, Nabi Muhammad telah memerintahkan agar kita berbuat adil kepada sesama manusia, sekalipun kepada anak-anak kita di dalam keluarga. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al-Thabrani, Rasulullah menyebutkan agar kita menyamakan anak-anak kita dalam hal pemberian, misalnya memberikan hadiah. Kita tidak boleh membeda-bedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Kalau kita mau memberi hadiah lebih, maka kita sebaiknya memberikannya kepada anak perempuan. Persamaan yang diperintahkan Nabi ini tidak hanya berhubungan dengan soal pemberian hadiah, tapi juga dalam hal pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Di samping itu ada juga hal lain yang kita kira perlu ditanamkan dalam keluarga. Yaitu, bagaimana keluarga menjadi ajang penyemaian pada anggotanya untuk menghargai pluralitas. Sebab, dari keluargalah, kita bisa memulai segala sesuatu. Di dalam keluarga terdapat macam-macam karakter yang berbeda-beda. Karena itu, dapat dipastikan, bahwa keluarga kita berbeda dengan tetangga. Pluralitas semacam ini perlu ditanamkan dalam keluarga sejak dini mungkin, sehingga bangunan demokrasi dapat terwujud melalui budaya demokrasi di dalam keluarga kita.
Praktik demokrasi
Dalam menerapkan demokrasi dalam keluarga, kita biasanya memberikan kepada anak-anak kita sesuatu yang sesuai dengan apa yang mereka butuhkan. Kita juga perlu menerapkan kepada anak-anak kita untuk melaksanakan segala kewajiban mereka sesuai dengan usia mereka. Penanaman demokrasi di dalam keluarga seperti ini merupakan cara yang baik untu dilanjutkan. Demokrasi itu bukan suatu kebebasan yang tanpa aturan, tetapi bebas bertanggung jawab. Kita tidak bisa berbuat sebebas-bebasnya.
Anak-anak kita boleh saja secara bebas melakukan sesuatu, tetapi mereka tidak boleh melampaui kebebasan. Apa yang anak-anak kita lakukan di dalam keluarga harus dimintai pertanggungjawabannya. Karena itu, budaya demokrasi dalam Islam menghendaki adanya acuan pada nilai-nilai islami. Bukan semata-mata maunya sendiri. Kita tidak boleh memberikan kebebasan kepada anak-anak kita bila melampaui dari acuan islami. Praktik demokrasi di dalam keluarga tidak bisa lepas dari ajaran-ajaran agama (Islam). Wallahu a'lam.
Sumber
Peter Casey Tak Sungkan Shalat di Kedai Starbucks
Peter Casey, atau Abdulmalik, berlatar belakang Yahudi-Kristen. Namun pencarian spiritual pemuda berusia 23 tahun ini bermuara pada Islam. Pada usia 15 tahun, lulusan Queens College ini memutuskan bersyahadat.
Kini namanya dikenal secara luas baik di negerinya, Amerika Serikat, maupun dunia internasional setelah pengakuannya memilih Islam tersebar luas di jagat maya. Alih-alih takut akan keselamatan nyawanya mengingat fobia Islam kembali mengental di AS menjelang peringatan tragedi 11 September, ia malah rajin menunjukkan keyakinan barunya di depan publik.
Ia misalnya, selalu pergi ke masjid setiap hari dengan 'menumpang' skateboard-nya -- gaya khas anak muda AS. Ia juga jarang berpikir dua kali untuk melakukan ibadah shalat di Starbuck, jika kebetulan ia tengah nongkrong di sana dan waktu shalat telah tiba.
Pria bermata biru ini mengaku pantang menyembunyikan identitas keislamannya. Sebaliknya, ia mengatakan ia berusaha untuk "menantang stereotip dan kesalahpahaman" orang lain di sekitarnya tentang Islam.
Sebagai seorang mualaf yang dibesarkan di pinggiran kota dengan latar belakang Yudeo-Kristen, Casey berada dalam posisi yang sebetulnya 'mustahil' untuk melakukannya. Namun, itulah tekad Casey; membuat orang belajar menerima seorang Muslim apa adanya, mulai dari cara dia berpenampilan, berbicara, dan bertindak.
Casey dibesarkan di pinggiran Long Island oleh ibu yang beragama Yahudi dan ayah Katolik. Ia tumbuh dalam keluarga yang bertolak belakang dalam melihat Yesus. Di satu sisi, kekristenan berbicara tentang Yesus sebagai Allah Putra, Allah Bapa, dan roh Kudus. Di sisi lain, Yudaisme berbicara tentang Yesus sebagai seorang mesias palsu.
"Saya merasa ada dua hal ekstrem di sana, dan saya mempelajari keduanya," kata Casey.
Dan kemudian, pasca-serangan 11 September 2001, pemahaman mulai berubah. Dia baru berusia 13 tahun saat dua menara kembar WTC itu runtuh. Sejak itu, ia rajin berselancar di dunia maya mengorek isi ajaran Islam -- yang pada awalnya dituduhkan berada di balik serangan itu. Ia menemukan doktrin yang lebih masuk akal tentang Yesus: dia seorang nabi, seorang pria yang menyampaikan firman Allah. Tidak lebih, tidak kurang.
"Ketika saya mulai belajar tentang Islam, saya seperti:" Ini dia. Ini adalah agama itu," katanya.
Dua tahun kemudian, pada usia 15 tahun, ia masuk Islam. (Orang tuanya menolak memberikan komentar untuk cerita ini).
Sejak itu, pria yang baru-baru mulai mengajar sejarah di sebuah sekolah Islam di Brooklyn, telah berupaya untuk meluruskan kecurigaan publik AS pada Islam. Tak hanya melalui perbuatan -- seperti bershalat di tempat umum dan ramah pada siapa saja -- ia juga aktif berdakwah melalui blog-nya yang bertajuk 'Dawah Addict'. Tema-tema seperti 'Muhammad dalam Alkitab' dan 'Bagaimana Menjadi Seorang Muslim' diulasnya tanpa canggung.
"Ketika saya pertama kali menjadi Muslim, dan masih terdengar hingga hari ini, orang-orang berkata,'Mengapa tidak ada lebih banyak Muslim yang mengatakan terorisme adalah buruk? Mengapa tidak ada Muslim di luar sana mengatakan tentang Islam yang sebenarnya?'," kata Casey. "Dan saya pikir, yah, saya akan melakukannya jika tidak ada orang lain yang akan melakukannya."
Saluran Casey di YouTube memiliki lebih dari 5.000 pelanggan dan hampir setengah juta pengunjung. Meskipun pendengarnya terus tumbuh, dia juga mengalami hambatan, antara lain berbagai bentuk komentar marah dan sanggahan.
Namun, dia tak surut ke belakang. Alasannya sederhana: "Saya merasa seperti saya memiliki tanggung jawab kepada orang-orang di Amerika," katanya, "Karena ini adalah tempat saya tumbuh dan ini adalah rumah saya, dan saya ingin berbagi apa yang membuat saya sangat bahagia dan telah membawa saya kedamaian begitu banyak."
Sumber
Nikmatnya Hidup Tanpa Narkoba
Setiap anak cucu Nabi Adam, baik Muslim maupun non-Muslim, tentu sangat menginginkan hidup bahagia. Kebahagiaan yang hakiki memang menjadi dambaan setiap orang. Namun, orang seringkali salah jalan dalam mencari kebahagiaan yang hakiki itu.
Banyak orang mengira bahwa kebahagiaan hakiki itu adalah kehidupan di dunia ini. Karena itu, mereka berlomba-lomba ingin mendapatkannya. Padahal, kebahagiaan hakiki tidak identik dengan kehidupan di dunia ini.
Banyak ayat Alquran yang menjelaskan dan menegaskan bahwa kehidupan dunia bukanlah kebahagiaan yang hakiki. Dalam QS. Ali Imran, 3: 185, misalnya, disebutkan, "Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." Allah juga berfirman dalam QS. Al-Ankabut, 29: 64, "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
Lihat juga QS. Al-An'am, 6: 70, 130 dan Al-A'raf, 7: 5, yang menyebutkan, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah tipuan belaka. Dan, dalam firman-Nya yang lain, "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Al-Hadid, 57: 20).
Allah memberi kita resep, agar kita tidak tertipu oleh kehidupan dunia ini; yaitu dengan beriman dan bertakwa kepada Allah, seperti disebutkan dalam ayat Alquran berikut, bahwa, "Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.
Dan, jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu." (Muhammad, 47: 36). Kehidupan dunia yang digambarkan ayat-ayat Alquran itu bersifat sementara, terbatas, dan tidak langgeng.
Artinya, kebahagiaan hakiki bukan ada di dalam kehidupan dunia ini, tapi di akhirat kelak. Kehidupan di dunia hanyalah ladang beriman dan beramal saleh, agar kita mendapat kebahagiaan hakiki di kehidupan akhirat nanti.
Namun, karena kita tidak mengetahui, kita tertipu dan terperdaya oleh kehidupan dunia yang tampaknya menyenangkan. Dengan berbagai cara, jalan, dan akal, banyak di antara kita ingin meraih kehidupan dunia yang sesaat dan serba instan ini.
Bahkan, mereka berani nekad dan tanpa pikir panjang untuk mewujudkannya. Kalau ada masalah, misalnya, mereka ingin mengatasinya dengan cepat dan masalah hilang hanya sesaat kemudian. Bahkan, cara yang mereka tempuh menimbulkan masalah yang jauh lebih besar.
Contohnya, mereka bernarkoba ria. Ada di antara kita yang mencari kebahagiaan dengan cara berpesta narkoba, yaitu kesenangan sesaat. Bukan kebahagiaan hakiki yang mereka dapat.
Mereka sebenarnya telah menzalimi dirinya sendiri, dan bahkan juga menzalimi orang lain: keluarga, tetangga, dan masyarakat sekitarnya. Narkoba dapat merusak diri sendiri, dan masa depannya.
Produktivitas dan kesehatannya akan terus menurun dari hari ke hari. Mereka telah membuka satu pintu maksiat dan pintu maksiat lainnya akan mudah dibukanya pada hari-hari berikutnya. Dari narkoba akan timbul seks bebas, pencurian, perkelahian, perceraian, pembunuhan, dan berbagai jenis maksiat lainnya.
Kalau semua jenis maksiat itu sudah terjadi di tengah kehidupan kita, yaitu mencari kesenangan sesaat, maka sesungguhnya kita telah jauh dari ajaran agama yang kita anut.
Kita tidak lagi menghormati, menghargai, dan mengamalkan agama kita. Bahkah, kita tidak lagi berislam secara rahmatan lil'alamin. Bagaimana kita bisa menebarkan kasih sayang kepada sesama, sedangkan diri sendiri tidak kita sayangi.
Jadi, narkoba memang termasuk barang yang menikmatkan, tapi hanya di dunia dan sesaat. Pemakai narkoba, seperti saya alami, merasakan kenikmatan segala-galanya. Karena itu, sekali memakai narkoba, kita akan ketagihan dan tidak mau kehilangan nikmat tersebut.
Tetapi sekarang, setelah keluar dari jeratan narkoba, saya merasa lebih nikmat menyongsong kehidupan di akhirat nanti. Kenapa? Sederhana sekali. Kalau ganja yang juga ciptaan Allah, saja dirasa nikmat oleh pemakainya, maka tentu mengenal dan meyakini Penciptanya akan lebih nikmat.
Ada beberapa langkah yang harus kita antisipasi supaya tidak kembali lagi ke narkoba. Seperti yang saya alami, yaitu, berusaha mencari ilmu kebenaran. Saya mempelajari dan memperdalam agama kepada siapa saja. Mengamalkan ilmu agama merupakan langkah pencegahan untuk tidak tergiur kepada kenikmatan narkoba.
Sebab, dalam agama telah banyak dijelaskan tentang perintah dan larangan Allah yang harus kita taati. Termasuk larangan bermabuk-mabukan, seperti narkoba.
Saya juga membiasakan diri untuk rajin ke masjid. Karena, di masjidlah kita akan menemukan ketenangan dan kedamaian. Di masjid kita tidak hanya shalat, tapi juga menjalankan ibadah-ibadah lainnya, baik yang fardu maupun yang sunnah. Dari belajar dan membaca Alquran hingga berzikir kepada Allah.
Selain itu, saya sering pula mendirikan shalat berjamaah. Dengan berjamaah, kita membangun kebersamaan. Ketika kita bersama-sama dalam kebaikan, maka kita akan saling mengingatkan dan menasihati.
Bukankah mendirikan shalat dapat mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar? Saya juga berdakwah, yaitu mengajak sesama manusia untuk menghindar dari larangan Allah, semacam narkoba. Semua langkah ini, saya pikir, dapat membentengi diri untuk tidak mendekati barang haram tersebut. Saya melakukannya dengan sabar dan ikhlas kepada Allah.
Ada pula yang tak kalah pentingnya. Yaitu peran dan motivasi dari lingkungan kita paling dekat. Antara lain keluarga, tetangga, dan kawan-kawan kita. Merekalah yang memotivasi saya untuk tidak lagi terlibat dalam narkoba. Istrinya saya, misalnya, selalu mendorong saya untuk belajar agama. Dialah yang memberi contoh teladan baik kepada saya.
Namun, langkah-langkah ini, menurut saya, masih kurang kuat untuk menghadapi kegagasan penyakit narkoba. Selain langkah-langkah itu, saya selalu berdoa memohon diberi hidayah untuk tidak mengulangi perbuatan haram yang datang dari setan laknat itu.
Doa menjadi motivasi diri untuk tidak mengulangi dan berusaha memperbaikinya di masa-masamendatang. Usaha dan doa inilah yang selalu saya lakukan untuk membentengi diri dari narkoba. Demikianlah janji-janji Allah yang terbukti pada diri saya. Alhamdulillah.
Untuk itu, mulai sekarang, kita harus berani berkata tidak kepada narkoba. Dekatlah kepada Allah. Hidup ini hanya sekali, maka hiduplah yang berarti. Jangan sekali-kali kita mencoba narkoba. Karena, sekali mencicipinya, maka kita akan membuka pintu neraka. Nikmatilah hidup ini dengan iman dan takwa kepada Allah.
Sumber