:: Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh :: Selamat datang di website resmi Masjid Amal Bakti - Puncak Sekuning - Palembang :: Semoga isi dari website ini bisa bermanfaat untuk kita semua :: Terima kasih atas kunjungannya :: Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh ::
===========================================================
===========================================================

Minggu, 11 Desember 2011

Manusia Di Cangkang Telur


Dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW membandingkan antara dunia dan surga. Kata beliau, "Kavling yang paling kecil di surga nanti adalah seperti dunia ini ditambah sepuluh kali lipatnya."

Tentu ada orang yang kemudian bertanya, "Di mana pula lokasi surga itu? Padahal, dunia ini sudah sangat luasnya, dan tampaknya tidak ada seorang pun yang pernah menapakkan kakinya di atas semua dataran dunia ini?"

Pertanyaan orang tadi mencerminkan keraguannya atas adanya alam surga sebagaimana yang diilustrasikan oleh Nabi SAW. Dan orang tersebut mewakili salah satu dari tiga tipe orang dalam menyikapi surga khususnya, dan alam akhirat umumnya.

Ibarat anak ayam yang masih berada di dalam cangkang telur, begitulah manusia di dunia ini. Ibaratnya pula, anak ayam yang belum menetas itu diberi tahu bahwa setelah tiba saatnya, mau atau tidak, ia akan keluar meninggalkan dunia telur ayam tersebut, dan akan masuk ke dalam alam yang luasnya jauh bermiliar-miliar lebih besar daripada dunianya di dalam cangkang telur yang ia diami sekarang ini.

Dalam menyikapi berita tersebut, ada tiga tipologi anak ayam. Pertama, anak ayam yang sama sekali tidak percaya terhadap berita itu. Di mana ada alam yang besar seperti itu, sedangkan baginya, dunia telur ayam itu sudah sangat lebar. Ia bisa bermain ke kanan kiri dengan leluasa. Begitu alur pikirannya.

Kedua, anak ayam yang tidak mau tahu-menahu tentang berita itu. Baginya, itu adalah urusan nanti. Seperti halnya anak ayam yang pertama, ia tidak pernah membuat persiapan untuk hidup di alam nanti.

Dan ketiga, anak ayam yang percaya mutlak bahwa apa yang diberitahukan kepadanya itu benar. Alasannya, pihak yang memberi tahu itu adalah pihak yang dipercaya. Maka, kendati ia belum pernah melihat alam itu, ia pun percaya hal itu sepenuhnya. Sebagai bukti atas keyakinannya itu, ia pun membuat persiapan-persiapan untuk memasuki alam tersebut nantinya.

Setelah tiba masanya, ketiga anak ayam itu akan meninggalkan dunia telur ayam dan masuk ke alam dunia. Dan anak ayam yang pertama dan kedua baru percaya bahwa apa yang pernah diberitahukan kepada mereka itu benar.

Begitulah manusia di dunia ini menyikapi adanya alam surga nanti. Ada yang tidak percaya, tidak tahu menahu, dan percaya sepenuhnya. Bila sudah tiba saatnya, mereka akan keluar dari alam dunia ini, dan masuk ke alam akhirat yang luasnya jauh lebih besar dari dunia ini. Dan dari tiga tipe manusia itu, hanya satu yang akan tinggal di surga, yaitu yang percaya dan mempersiapkan diri untuk itu.

Sumber

Baca Selengkapnya......

Mengapa Ingin Jadi Pemimpin ?


Banyak orang yang ingin jadi pemimpin. Motif mereka pun bermacam-macam. Ada yang sebatas ingin mendapatkan prestise, fasilitas, kehormatan, dan nama besar. Ada pula yang benar-benar tulus, ingin membuat perubahan agar masyarakatnya menjadi lebih baik.

Konsekuensinya, beragam motivasi tersebut melahirkan model dan gaya kepemimpinan yang bermacam-macam. Model pemimpin yang pertama biasanya sangat hati-hati, tidak banyak mengambil keputusan yang berisiko, agar posisinya tetap aman.

Dia menginginkan suasana stabil dan tenang; perlu anak buah loyal dan menuruti perintahnya, sekalipun tidak pintar. Orang pintar dan orang yang beroposisi diwaspadai dan dilemahkan, bahkan dibuang jauh.

Secara sederhana, hebat (tidak)-nya seorang pemimpin dapat dilihat dari orang-orang yang mengitarinya. Jika mereka miskin prestasi, maka kualitas pemimpin itu pasti rendah dan tidak bermutu, begitu pula sebaliknya.

Dalam berbagai kesempatan, saya bertanya kepada kepala-kepala daerah, mengapa mereka tidak memilih orang yang cakap dan pintar. Mereka pun berdalih, jika tidak loyal, orang cakap dan pintar malah merepotkan dan bikin birokrasi tidak jalan. Alhasil, orang bodoh pun masih beruntung dan tetap laku, asal loyal. Model kepemimpinan tersebut pasti melahirkan sikap munafik, loyalitas semu, stagnasi, bahkan mental korup.

Lain halnya dengan pemimpin revolusioner. Dia adalah pemimpin yang kaya ide, mau berjuang untuk mewujudkan idenya, dan yang terpenting, dia selalu berani mengambil risiko atas pelaksanaan idenya itu.

Pemimpin revolusioner menyukai orang-orang yang memiliki kelebihan, bahkan kalau perlu melebihi kapabilitas dirinya. Dia tidak memikirkan kedudukan. Dia melihat bahwa keberhasilan kepemimpinannya akan terjadi jika ditopang oleh orang-orang yang berkualitas tinggi, dan bukan sebatas orang-orang yang berbekal loyalitas. Kalaupun loyalitas dianggap perlu, maka bukan loyalitas terhadap pemimpinnya, tetapi terhadap visi atau cita-cita besarnya.

Di bawah pemimpin revolusioner, orang pintar dan orang yang memiliki keahlian tinggi sangat beruntung. Mereka terhormat dan diberi ruang untuk mengekspresikan kepintaran dan keahliannya. Bahkan, diberi kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya.

Sayang sekali, model pemimpin revolusioner tidak muncul di banyak tempat. Yang banyak bermunculan justru pemimpin yang ingin mendapatkan fasilitas, prestise, kehormatan, dan berbagai kenikmatan. Namun, kita tetap merindukan dan menunggu kehadiran pemimpin revolusioner itu.

Sumber

Baca Selengkapnya......