:: Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh :: Selamat datang di website resmi Masjid Amal Bakti - Puncak Sekuning - Palembang :: Semoga isi dari website ini bisa bermanfaat untuk kita semua :: Terima kasih atas kunjungannya :: Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh ::
===========================================================
===========================================================

Selasa, 27 September 2011

Kematian


Tidak lama setelah kematian Presiden Nasser secara tiba-tiba, delegasi Mesir berkunjung ke RRC. Dalam suatu audiensi dengan PM Zhou Enlai, petinggi Cina itu menanyakan sebab kematian Nasser. Ketika dijawab bahwa penyebabnya tidak dapat dipisahkan dari kehendak Tuhan, Zhou buru-buru menyergah dengan menyatakan, ''Jangan membawa-bawa Tuhan. Saya jauh lebih tua dan sampai sekarang ini saya sehat-sehat. Apalagi sebagai Presiden dia kan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.''

Hasanil Haikal, Menteri Penerangan Mesir pada masa Nasser menulis kisah ini dalam suatu biografi pemimpin besar Mesir itu. Zhou sendiri, yang telah dipersiapkan oleh Ketua Mao Zedong sebagai penggantinya, meninggal hanya beberapa tahun setelah Nasser, yang kemudian memaksa Mao merehabilitir Deng Zioping.

Berbeda dengan paham komunisme, Islam memandang bahwa kematian tidaklah berarti akhir dari perjalanan manusia, tapi awal dari suatu kehidupan yang kekal di akhirat. Alquran mengingatkan kita tentang hari kebangkitan itu dalam ratusan ayat dan sekaligus menepis keraguan tentangnya.

Islam berpendapat manusia adalah mahluk yang terdiri dari jiwa dan raga, atau badan dan ruh. Badan manusia sendiri senyawa materi dan tunduk pada materi. Keberadaannya terbatas pada waktu dan tempat, terpengaruh oleh cuaca - dan sebagaimana ditetapkan Allah suatu hari tubuh atau badan inipun hancur dan binasa. Tetapi tidak demikian dengan jiwa atau ruh.

Karena itulah Islam menegaskan kematian tidaklah berarti kita berhenti maujud. Kematian berarti jiwa manusia - yang tidak dapat musnah - memutuskan ikatannya dengaan tubuh jasmani, dan sekalipun badan itu hancur dengan kematian tapi jiwa melanjutkan kehidupananya sendiri.

''Dan mereka berkata: Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru. Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Tuhannya''. Katakanlah : ''Malaikat maut yang untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu: kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan'' (As-Sajdah 10-11). Rasulullah SAW sendiri menyatakan, ''Kamu tidaklah mati, namun kamu hanya dipindahkan dari satu tempat tinggal ketempat tinggal yang lain''.

Berdasarkan ayat itu, Islam memberi jaminan bahwa setelah kita mati dan hidup kekal dalam alam barzah - kita akan memperoleh kebahagiaan dan kesenangan apabila dalam hidup di dunia ini kita melakukan amal saleh. Tapi sebaliknya seseorang yang dalam hidupnya melakukan perbuatan-perbuatan jahat akan memperoleh siksa dari Allah.

Jadi, meminjam kata Muhammad Husain Haekal, pengarang sejarah Nabi Muhammad SAW, barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, dengan imannya semacam itu, dia tidak pernah merasa takut, termasuk dalam menghadapi kematian. Dan iman semacam inilah yang membuat Nabi dan para sahabatnya tidak pernah gentar dalam situasi apa pun.

Sumber

Baca Selengkapnya......

Tak Peduli Halal-Haram


Bakal datang kepada manusia suatu masa, di mana orang tiada peduli akan apa yang diambilnya; apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. Nabi Muhammad SAW

Maraknya perilaku yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan dewasa ini apakah merupakan pertanda bahwa zaman yang diisyaratkan Nabi SAW itu sudah datang? Para ustad, guru, dan cendekiawan sudah mensinyalir hadirnya zaman itu dalam khotbah-khotbahnya. Di masjid, di pengajian, di kantor, di sekolah, di ruang diskusi, semua orang membicarakan tentang penghalalan segala cara dalam mencapai cita-cita. Jika memang benar, alangkah berbahayanya zaman ini. Suatu zaman yang tak menentu, yang selalu goyah seperti sedang ditimpa gempa. Kita yang hidup di zaman seperti ini menjadi penuh tanda tanya. Apakah sepak-terjang kita dalam mencari nafkah sehari-harinya sudah terimbas oleh zaman itu pula?

Hadis riwayat Bukhari di atas memperingatkan kita betapa tata nilai telah bergeser sangat cepat yang mengakibatkan kita merespon zaman dengan persepsi yang sangat berbeda. Ketika tangan kita melindungi harta kita sendiri, bisa jadi tangan kita itu tiba-tiba ditepiskan tangan orang lain yang ingin merebut kekayaan kita itu. Rupanya batas-batas kekayaan kita dengan kekayaan orang lain sudah dianggap kabur. Jika kita tak mampu membedakan lagi barang halal dengan barang haram, sesungguhnya dunia kita sudah ''kiamat''. Lalu kepada siapa masyarakat mengadu untuk menuntut keadilan, kemakmuran, kebenaran? Mampukah masyarakat menolong dirinya sendiri untuk melindungi kekayaannya?

Agaknya perjuangan para ustad, guru, dan cendekiawan dewasa ini sudah bergeser ke arah penegakan akhlak. Tegaknya akhlak yang baik mampu menerbitkan keadilan, kemakmuran, dan kebenaran. Ketiga martabat kearifan yang diperjuangkan manusia berabad-abad lamanya atas sesamanya itu sungguh selaras dengan kehendak Tuhan.

Sebuah kisah diceritakan dalam buku Kasyful Mahjub karya Ali ibn Utsman Al-Hujwiri tentang Abu Halim Habib bin Salim Al-Ra'i, seorang sufi sahabat Salman Al-Farisi. Ia bisa menjinakkan segerombolan serigala yang sebenarnya meneteskan air liur ketika melihat biri-birinya yang ia gembalakan di tepi Sungai Eufrat. Ia juga mampu memancurkan air susu dan air madu dari sebongkah batu yang ia suguhkan bagi tamunya. Menurut sang sufi, hal itu mampu dikerjakannya karena hasratnya selaras dengan kehendak Allah dan taat kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ketika seorang sheikh memintanya memberi wejangan, Al-Ra'i berkata: ''Jangan jadikan hatimu keranjang keinginan hawa nafsu dan perutmu periuk barang-barang haram.''

Sumber

Baca Selengkapnya......

Kasih Sayang


Kasihilah penghuni bumi, niscaya engkau dikasihi penghuni langi. Dalam hadis di atas, yang dimaksud ''penghuni langit'' adalah Allah dan para malaikatNya. Adapun ''penghuni bumi'' yang patut dikasihi dan sekaligus dikasihani, merujuk riwayat Abu Hurairah, yaitu segala yang bernyawa. Dengan demikian, menolong mereka -- termasuk memberi air kepada anjing yang kehausan, seperti disabdakan Rasulullah -- berpahala. Tak mengherankan bila kemudian para sahabat Nabi SAW saling berlomba untuk mengasihi para penghuni bumi. Abu Darda, misalnya, begitu sayang kepada burung. Ia berkeliling mendekati anak-anak untuk membeli burung mereka. Ia lalu melepas burung-burung itu seraya berkata, ''Terbanglah, dan kamu bebas mencari penghidupan sendiri.''

Rahmat Allah yang oleh Alquran disebut mencakup segala sesuatu (wasi'at kulla syai'in), seluruh nikmat yang kita rasakan, barulah satu dari seratus rahmat-Nya. Sedang 99 rahmat yang lain sementara masih ditahan, dan seperti dikatakan Rasulullah, akan diberikan khusus kepada hamba-hambanya yang beriman yang di dalam dirinya terdapat getaran cinta. Sabda Rasulullah: ''Yang bisa masuk surga hanyalah orang yang mempunyai rasa belas kasihan.''

Menebar rasa cinta haruslah menyeluruh, tidak pandang bulu, bahkan kepada para preman atau bangsat sekalipun. Kepada mereka, kita tidak boleh mengutuk dan mengumbar dendam. Rasulullah SAW, bahkan, menyuruh kita prihatin dan mendoakan mereka: Alhamumma irhamhu. Allahumma tub 'alaihi (Ya Allah, kasihanilah dia. Ya Allah, ampunilah dia). Kasih sayang (rahmah) juga berarti harapan agar seseorang kembali ke pangkuan Ilahi. Seorang sufi Syaqiq al-Zahid mengatakan: ''Pada saat kamu teringat atau bertemu orang jahat, kemudian kamu tidak merasa belas kasihan kepadanya, berarti kamu lebih jahat dari dia.'' Cinta kepada sesama adalah tolok ukur iman seseorang. Rasulullah SAW menegaskan, ''Bila seseorang tidak punya rasa belas kasihan terhadap sesamanya, maka Allah pun tidak menaruh kasihan kepadanya.'' (riwayat Bukhari-Muslim).

Bahkan, dalam hadis yang lain disebutkan bahwa salat dan puasa belum cukup membawa seseorang ke surga sampai dadanya bersih dari dendam, hatinya penyayang, dan berbelas kasih terhadap sesama. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjelaskan, amal yang paling disenangi Allah SWT ada tiga: ''Memberi maaf sewaktu sempat membalas dendam, berlaku adil saat emosi, dan menaruh belas kasihan terhadap sesama hamba Allah.'' Dalam kehidupan kita ini, begitu banyak manusia yang patut dikasihani: yang miskin, yang tak beribu bapak, yang jahat karena terpaksa, yang terkena musibah, dan seterusnya. Mereka adalah makhluk seperti kita, bernyawa. Bedanya, nasib baik belum berpihak kepada mereka.

Sumber

Baca Selengkapnya......