:: Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh :: Selamat datang di website resmi Masjid Amal Bakti - Puncak Sekuning - Palembang :: Semoga isi dari website ini bisa bermanfaat untuk kita semua :: Terima kasih atas kunjungannya :: Wassalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh ::
===========================================================
===========================================================

Kamis, 26 Januari 2012

Penodaan Agama


Beberapa saat setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada Rabiul Awal tahun 11 H atau 632 M, muncul seseorang yang bernama Musailamah al-Kazzab. Ia mengaku sebagai nabi baru yang diutus Tuhan. Ujian terhadap akidah dan kesatuan umat Islam pada waktu itu dapat ditumpas dengan tindakan tegas pemerintah yang dipimpin Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq.

Dalam sejarah Islam, penodaan agama dan penyebaran paham menyimpang memperlihatkan fenomena yang menarik untuk dianalisis lebih jauh. Zaman penjajahan, keberadaan aliran agama sempalan yang mengguncang akidah umat Islam dan melemahkan jihad melawan kolonialisme di negeri-negeri Islam, seperti agama Bahai, Ahmadiyah, dan lain-lain, mendapat bantuan dari negara penjajah. Dewasa ini kasus penodaan agama makin marak di dalam masyarakat kita. Yang lama belum selesai teratasi, muncul pula yang baru.

Islam secara tegas menolak kepercayaan yang menganggap sesudah Rasulullah wafat masih ada wahyu yang diturunkan kepada seseorang untuk disampaikan kepada umat manusia. Rasulullah mewasiatkan dua hal kepada umatnya, yakni Kitabullah (Alquran) dan sunah Rasul. Barang siapa berpegang pada keduanya, dia akan selamat dunia dan akhirat.

Setiap Muslim wajib percaya bahwa Rasulullah SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir (khataman nabiyyin). Ini merupakan prinsip akidah Islam yang sangat fundamental. Sekadar mengakui ”tiada tuhan selain Allah” belumlah menjadikan seseorang sebagai Muslim. Dalam Islam, kepercayaan kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan pada risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengutip hadis Nabi Muhammad, “Namaku dalam Injil ialah Ahmad, sedangkan namaku dalam Alquran ialah Muhammad, sebab aku terpuji di kalangan ahli langit dan bumi.” Imam al-Qurthubi juga menukilkan riwayat Nabi Musa berdoa, “Ya Allah! Masukkanlah aku ke dalam golongan umat Ahmad (Muhammad).”

Nabi Muhammad bersabda, “Aku diutus kepada sekalian makhluk dan dengan kedatanganku, ditutuplah kenabian.” (HR Muslim dan Tirmidzi). Dalam riwayat lain, “Di kalangan umatku akan muncul 30 pendusta. Semuanya mengaku nabi. (Padahal) akulah penutup segala nabi. Tidak ada lagi nabi sesudahku. Dan akan senantiasalah segolongan dari umatku tegak di atas kebenaran. Tidak akan memberi bencana atas mereka siapa pun yang menentang mereka, hingga datanglah ketentuan Allah, dan mereka tetap atas yang demikian.” (HR Abu Dawud).

Untuk menjaga eksistensi Islam sebagai agama dunia tidak diperlukan Nabi baru sesudah Muhammad, baik yang membawa syariat ataupun yang tidak membawa syariat baru. Jika ditelusuri aliran-aliran sempalan dan menyimpang itu sebagian besar berpangkal pada Inkarus Sunnah, yakni kelompok yang mengingkari dan menolak sunah Nabi Muhammad SAW. Keberadaan mereka dapat dikenal di dalam berbagai versi paham dan gerakannya.

Adalah tugas dan tanggung jawab umara (pemerintah) dan ulama untuk melindungi hak asasi kehidupan beragama dan memelihara ketenteraman masyarakat dari bahaya yang ditimbulkan oleh paham dan aliran keagamaan menyimpang yang berulang kali muncul sepanjang sejarah umat Islam dari dulu sampai sekarang.

Sumber

Baca Selengkapnya......

Kesaksian Palsu: Menghalangi Keadilan, Menutup Kebenaran


Salah satu masalah besar dalam dunia peradilan adalah kesaksian palsu. Praktik tersebut sangatlah dicela, sebab bisa menghalangi keadilan dan menutup pintu kebenaran.

Kesaksian palsu juga dinilai dapat mengakibatkan berbagai bentuk kerusakan di muka bumi. Banyak orang akan kehilangan hak-haknya, serta penganiayaan pada mereka yang tidak berdosa.

Maka itu, undang-undang memberikan ancaman hukum bagi seseorang yang bersaksi palsu. Ini sekaligus membuktikan betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan akibat kebohongan tadi.

Dalam ranah keagamaan, larangan bersaksi palsu telah pula ditetapkan. Alquran memberikan penekanan dalam surah al-Hajj ayat 30, ''..dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.''

Islam melaknat praktik tersebut. Bersaksi palsu, menurut Dr Muhammad Ali Hasyimi, merupakan sebuah perbuatan tercela yang akan merugikan orang lain, bahkan dirinya sendiri.

''Kesaksian palsu tidak memberikan keuntungan bagi seorang Muslim, justru dapat membahayakan kredibilitas dan kehormatannya,'' paparnya dalam buku berjudul Hidup Saleh dengan Nilai-nilai Islam.

Oleh karenanya, bagi umat yang beriman, Allah memerintahkan mereka untuk menjauhi orang yang berkata dusta. Surah al-Furqan ayat 72 menjelaskan, langkah ini terutama untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan dirinya.

Bersaksi palsu tak lepas dari perhatian Rasulullah SAW. Beliau mengelompokkannya sebagai salah satu dari tiga dosa besar, setara dengan dua dosa yang sangat serius, yakni menyekutukan Allah dan durhaka kepada orangtua.

Rasulullah bahkan tak hentinya mengingatkan umat agar menjauhi perbuatan ini. ''Beliau terus mengulangi hal ini sehingga kami berharap bahwa beliau berhenti (yakni tidak mengurangi semangat beliau.'' (Muttafaq'alaih)

Berulang-ulangnya peringatan Nabi SAW tadi, ditengarai oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Munajjid pada kitab //Muharramat Istahana Bihan Naas//, lantaran banyak orang yang kerap meremehkannya.

Termasuk menganggap enteng masalah ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang di pengadilan dengan mengatakan kepada seseorang yang ia temui, ''Jadilah saksi untukku, nanti aku akan menjadi saksi untukmu.''

Kesaksian palsu, didefinisikan Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin sebagai seseorang bersaksi terhadap sesuatu yang dia tidak mengetahui atau mengetahui yang sebaliknya. Banyak faktor penyebabnya, semisal karena permusuhan, dengki, dan sebagainya.

Tanggung jawab

Inilah kedustaan yang nyata. Seharusnya, sambung dia, semua bentuk kesaksian itu berpegang pada firman Allah, ''Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.'' (QS Yusuf [12] : 81)

Saleh al-Fauzan dalam buku Fikih Sehari-hari, mendukung pernyataan tersebut. Dia berpendapat, seorang saksi haruslah menjelaskan apa yang telah ia saksikan dan ketahui.

Lebih jauh dikatakan, pentingnya memberikan keterangan secara benar karena Islam menetapkan hukum fardhu kifayah terhadap seseorang sebagai saksi. ''Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil.'' (QS al Baqarah [2] : 282).

Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, ini merupakan perintah untuk menunaikan persaksian dan menyampaikannya kepada hakim. Sebab, hal itu sangat dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran dan hak.

''Sebuah persaksian ibarat akad atau perjanjian, dan ini hukumnya wajib, sebagaimana amar ma'ruf nahi munkar,'' urainya.

Pendapat itu diperkuat oleh Imam Ibnul Qayyim, dengan menambahkan bahwa jika seorang saksi menyembunyikan persaksiannya untuk menegakkan kebenaran, maka ia bertanggung jawab atas hal itu.

Meski demikian, bersaksi hanya diwajibkan jika hal itu tidak menimbulkan bahaya baginya. Rasulullah bersabda, ''Tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh merugikan orang lain.''

Untuk mengeliminir timbulnya kesaksian palsu, para ulama telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang saksi. Di antaranya berakal sehat, beragama Islam, dapat menghafal atau mengingat kejadian dengan baik, serta memiliki sifat adil.

Sumber

Baca Selengkapnya......

Rumah Yang Penuh Berkah


Rumah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Di sanalah seseorang mendapatkan tempat berlindung dari cuaca panas dan dingin, atau tempat kembali setiap kali bepergian. Di rumah pula, segenap anggota keluarga dapat melakukan berbagai aktivitas.

Selain itu, rumah juga berfungsi sebagai tempat pembinaan. Rumah adalah lokasi terbaik dalam menyemai benih-benih kebaikan serta keimanan dari sebuah keluarga. Sehingga, tidak berlebihan jika setiap orang mendambakan rumah yang nyaman, sejuk, agar mendukung terciptanya keluarga sakinah.

Tidaklah cukup hanya sekadar membangun fisik rumah secara mewah serta mentereng. Namun yang terpenting adalah membangun suasana kondusif dengan dinaungi nilai-nilai Islami dan pada akhirnya sanggup menenteramkan batin penghuninya.

Rasulullah SAW banyak memberikan tuntunan kepada umat yang ingin menjadikan tempat tinggal mereka penuh harmoni dan keberkahan. Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami dalam Berakhlak dan Beradab Mulia, mengatakan, umat perlu meniru rumah Rasulullah SAW.

Nabi SAW memberikan panduan agar jangan berlebihan dalam membangun tempat tinggal. Melainkan, rumah seorang Muslim adalah yang cukup untuk sekadar mampu menutupi dari pandangan orang lain dan melindunginya dari bahaya hewan buas.

Paling tidak, pedoman sebuah rumah yang baik adalah yang bisa memberikan rasa nyaman serta asri. ‘’Dengan begitu, penghuninya akan merasa nyaman, juga merasa terlindungi,’’ papar Syekh asy-Syaami.

Sikap dan tindak tanduk penghuni rumah turut memberikan kontribusi bagi terciptanya suasana tenteram. Nabi SAW menekankan, agar setiap Muslim memperhatikan adab ketika hendak masuk rumah.

‘’Jika kamu hendak masuk rumah, maka sebaiknya kamu ucapkan salam, karena hal itu akan membawa keberkahan bagi kamu dan keluargamu.’’ (HR Tirmidzi)

Ada beberapa hal lain yang patut mendapat perhatian. Rasulullah mencontohkan, saat masuk rumah, jangan secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuan keluarga yang ada di dalam, agar mereka tidak kaget. Itulah tujuannya seseorang mengucapkan salam lebih dulu.

Beliau juga berdoa saat pulang ke rumah. ‘’Segala puji hanya milik Allah SWT semata, Zat yang telah memberiku kecukupan dan tempat berlindung, yang telah memberiku makan dan minum, yang telah memberiku karunia dan melebijkannya. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu selamatkanlah aku dari api neraka.’’

Dan ketika sudah masuk dalam rumah, beliau biasanya membuka pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. ‘’Nabi menanyakan bagaimana keadaan mereka (anggota keluarga yang lain),’’ tutur Syekh asy-Syaami.

Hendaknya, segala aktivitas yang dilakukan di rumah, tidak terlepas dari niat untuk meraih ridha Allah SWT. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah menekankan, ketika masuk rumah dan sebelum makan di rumah, seseorang sebaiknya menyebut asma Allah.

Maka setan pun berkata, ‘’Tidak ada tempat bermalam dan tidak ada makan malam bagi kalian.’’ Akan tetapi, jika tidak menyebut asma Allah, setan berkata, ‘’Malam ini kalian mendapatkan tempat bermalam dan hidangan makan malam.’’

Dianjurkan pula kepada penghuni rumah untuk senantiasa melingkupi suasana rumah dengan bacaan Alquran. Sabda Nabi SAW, ‘’Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sungguh, rumah yang di dalamnya selalu dibacakan ayat-ayat Alquran, tidak dimasuki setan.’’ (HR Tirmidzi)

Rasulullah juga menjaga keharuman di dalam rumah beliau. Ini mengingat beliau sangat menyukai wewangian. Oleh sebab itu, di dalam rumah sebaiknya penghuni benar-benar menjadi kebersihan, khususnya kamar mandi untuk menghindari munculnya bau yang kurang sedap.

Dari pandangan Syekh Yusuf al Qardhawi, setidaknya terdapat empat elemen terwujudnya rumah yang Islami. Pertama, luas dan bersih, kedua, menghias rumah secara halal dan tidak berlebihan, ketiga, tidak memajang patung di rumah. ‘’Serta keempat, tidak memelihara anjing,’’ ungkap ulama terkemuka itu.

Apabila keluarga itu berkelebihan, dianjurkan untuk memelihara anak yatim, sesuai sabda Rasulullah. ‘’Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk.’’ (HR Ibnu Majah).

Sumber

Baca Selengkapnya......